Pengertian dan Penjelasan Mengenai Etika Komunikasi Untuk Media Kita
Judul: Etika Komunikasi; Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi
Penulis: Haryatmoko
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: 180 Halaman
Di abad 21 yang oleh Alvin Toffler disebut dengan abad teknologi-informasi ini, media bukanlah barang langka. Hampir dapat dipastikan, sebagian besar masyarakat kita tidak rela melewatkan hari-harinya tanpa membaca koran, mendengarkan radio, dan menonton acara-acara televisi. Media, cetak ataupun elektronik, dengan demikian memiliki pengaruh yang tidak kecil terhadap kehidupan masyarakat (publik) mengingat kehadirannya yang terus-menerus.
Karena pengaruhnya yang besar, media kemudian dibebankan banyak fungsi. Menurut Harold D. Laswell, fungsi media bisa dibagi menjadi tiga. Pertama, media memiliki fungsi sebagai pemberi informasi untuk publik luas tentang hal-hal yang berada di luar jangkauan penglihatan mereka. Kedua, media berfungsi melakukan seleksi, evaluasi, dan interpretasi atas informasi yang diperoleh. Ketiga, media berfungsi menyampaikan nilai dan warisan sosial-budaya kepada masyarakat.
Selain ketiga fungsi media tersebut, masih perlu ditambahkan sejumlah fungsi lainnya, yaitu: media memiliki fungsi pendidikan, hiburan, kontrol sosial-politik, promosi atau iklan. Fungsi promosi atau iklan yang diperankan oleh media massa itulah yang sejauh ini menjadikan media makin menonjol keberadaannya. Sebab, dengan fungsi yang dimaksud, pemilik dan pekerja media bisa memperoleh keuntungan finansial.
Persoalannya, dalam konteks kekinian dan kedisinian, banyak media kita yang tidak memainkan fungsi idealnya. Dunia media telah habis-habisan diintervensi dan didikte oleh logika pasar, determinisme ekonomi, dan kepentingan politik tertentu. Akibatnya, hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar dan aneka hiburan yang mencerahkan sering tidak dijamin karena adanya pertarungan kepentingan politik dan ekonomi yang lebih dominan.
Bahkan bukan hanya hak publik akan informasi dirugikan, tetapi kecenderungan kuat yang datang dari tuntutan pasar dan politik sempit telah mengubah secara mendasar sistem media (organisasi komunikasi publik) sehingga pertimbangan pendidikan, pencerahan, analisis kritis, dan hiburan yang sehat diabaikan demi keuntungan finansial belaka. Lalu kecenderungan utama pengelola media hanyalah laba, karena logika pasar begitu menentukan tingkat kualitas informasi yang disuguhkan ke hadapan publik.
Fenomena semacam itulah yang telah mendorong Haryatmoko untuk menulis buku ini. Buku Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi ini memberikan analisis mendalam yang membuat kita sadar bahwa komunikasi akan hancur lebur jika media mengikuti dan menjadi instrumen buta bagi kepentingan politik kekuasaan, logika pasar, ekonomi, dan teknologi. Melalui buku ini, Haryatmoko menyerukan agar etika komunikasi menjadi ruh yang mendasari seluruh program media.
Sebagaimana diulas dalam buku ini, minimal ada tiga pertimbangan mengapa etika komunikasi mendesak diterapkan dalam kerja-kerja media (hal. 38). Pertama, media mempunyai kekuasaan dan efek yang dahsyat terhadap publik. Realitas menunjukkan bahwa media ternyata rentan memanipulasi dan mengalienasi publik. Dengan demikian, etika komunikasi dibutuhkan untuk melindungi publik yang lemah dari manipulasi media.
Kedua, etika komunikasi merupakan upaya untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab media. Salah satunya adalah mengingatkan tendensi korporatis media besar yang selalu memonopoli kritik, sementara kerja-kerja mereka tidak mau dikritik dengan argumen kebebasan pers. Jangan sampai semua bentuk kritik terhadap media langsung dimasukkan ke keranjang stigma pembatasan atau pengebirian kebebasan pers.
Ketiga, etika komunikasi ingin menghindari dampak negatif dari logika instrumental media. Logika ini cenderung mengabaikan nilai dan makna, yang penting hanyalah mempertahankan eksistensi media di depan publik. Sedangkan tujuan media sebagai sarana pencerahan masyarakat kurang mendapat perhatian. Padahal nilai dan makna melekat pada tujuan suatu tindakan, sedangkan logika instrumental sering menjadikan sarana atau instrumen sebagai tujuan pada dirinya.